SEJARAH KERATON YOGYAKARTA

 SEJARAH KERATON YOGYAKARTA

Keraton Yogyakarta mulai dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa waktu saat Kesepakatan Giyanti di tahun 1755. Tempat keraton ini konon ialah sisa satu pesanggarahan[2] yang namanya Garjitawati. Pesanggrahan ini dipakai untuk istirahat iringan mayat raja-raja Mataram (Kartasura serta Surakarta) yang akan disemayamkan diImogiri. 

Versus lain mengatakan tempat keraton sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada ditengah-tengah rimba Beringan. Sebelum tempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I diam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang saat ini termasuk juga daerah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.

Dengan cara fisik istana beberapa Sultan Yogyakarta mempunyai tujuh kompleks pokok yakni Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), serta Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). 

Disamping itu Keraton Yogyakarta mempunyai beberapa peninggalan budaya baik yang berupa upacara atau beberapa benda kuno serta bersejarah. Di lain sisi, Keraton Yogyakarta adalah satu instansi tradisi komplet dengan penopang adatnya. Oleh karena itu tidak mengejutkan bila nilai-nilai filosofi begitupun mitologi menyelimuti Keraton Yogyakarta. Serta untuk itu di tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan menjadi salah satunya Situs Peninggalan Dunia UNESCO.

SULTAN HAMENGKUBUWANA VIII

Hamengkubuwana VIII (lahir di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, 3 Maret 1880 – wafat di Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, 22 Oktober 1939 pada usia 59 tahun) ialah salah seorang raja di Kesultanan Yogyakarta tahun 1921-1939. Dia namanya asli Gusti Raden Mas Sujadi. Dikukuhkan jadi Sultan Yogyakarta tanggal 8 Februari 1921. 

Pada saat Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta memiliki banyak dana yang digunakan untuk beberapa pekerjaan termasuk juga membayar beberapa sekolah kesultanan. Putra-putra Hamengkubuwono VIII banyak disekolahkan sampai perguruan tinggi, banyak salah satunya di Belanda. Diantaranya ialah GRM Dorojatun, yang nantinya bertahta dengan gelar Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di Kampus Leiden.

Pada saat pemerintahannya, dia banyak membuat rehabilitasi bangunan kompleks keraton Yogyakarta. Diantaranya ialah Bangsal Pagelaran yang terdapat di paling depan sendiri (ada pas di selatan Alun-alun utaraYogyakarta). Bangunan yang lain yang direhabilitasi ialah tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, serta Masjid Gedhe. Dia adalah salah satunya orang pertama dari golongan politisi papan atas Kota Yogyakarta yang memberikan dukungan perjuangan Kh. Ahmad Dahlan dalam pembangunan Muhammadiyah untuk bentuk loyalitasnya pada Islam.

Dia wafat pada tanggal 22 Oktober 1939 di kereta api di wilayah Wates, Kulon Progo diperjalanan pulang dari Jakarta untuk menjemput GRM Dorojatun dari negeri Belanda. GRM Dorojatun tiba-tiba dipanggil pulang yang belum mengakhiri sekolahnya. Di Batavia, Sultan memberikan keris Kyai Ageng Joko Piturun kepadaGRM Dorojatun untuk sinyal suksesi kerajaan, sekaligus juga untuk isyarat jika GRM Dorojatun-lah yang nantinya akan gantikan untuk Sultan.

SULTAN HAMENGKUBUWANA VII

Sri Sultan Hamengkubuwana VII (bahasa Jawa: Sri Sultan Hamengkubuwono VII, lahir 4 Februari 1839 – wafat 30 Desember 1921 pada usia 82 tahun) ialah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah di tahun 1877 – 1920, berjulukan Sinuhun Behi. Dia juga dikenal dengan panggilan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih.

Nama aslinya ialah Gusti Raden Mas Murtejo, putra paling tua Sultan Hamengkubuwono VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Dia naik takhta gantikan ayahnya tanggal 13 Agustus 1877.

Pada saat pemerintahan Hamengkubuwono VII, banyak dibangun pabrik gula di Yogyakarta, yang semuanya sejumlah 17 buah. Tiap pendirian pabrik memberi kesempatan padanya untuk terima dana sebesar F200.000,00. Ini membuat Sultan benar-benar kaya hingga seringkali mendapatkan panggilan Sultan Sugih[butuh referensi].

Waktu pemerintahannya adalah waktu peralihan ke arah modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah kekinian dibangun. Dia serta kirim putra-putranya belajar sampai ke negeri Belanda.

Pada tanggal 29 Januari 1921 Hamengkubuwono VII yang waktu itu berumur 81 tahun putuskan untuk turun takhta serta mengusung putra mahkotanya yang ke-4 (GRM Sujadi, bertitel GPH Purubaya) untuk substitusinya. Konon kejadian ini masih Permainan Draw Poker ditanyakan keabsahannya sebab putera mahkota yang pertama (GRM Akhaddiyat, bertitel KGP Adipati Anom Hamengkunegara I), yang semestinya gantikan ayahnya, mendadak wafat serta sampai sekarang ini belum jelas pemicu kematiannya. 

Substitusinya, KGP Adipati Anom Hamengkunegara II (selanjutnya bertitel KGP Adipati Juminah), dihentikan sebab fakta kesehatan. Putra mahkota yang ke-3, GRM Putro (bertitel KGP Adipati Anom Hamengkunegara III), wafat tanggal 21 Februari 1913 karena sakit keras sesudah datang dari Kulon Progo.

Sangkaan yang ada adalah ada keterkaitan faksi Belanda yang tidak sepakat dengan putera mahkota alternatif Hamengkubuwono VII yang populer tetap melawan beberapa aturan yang dibikin pemerintah Batavia.

Umumnya dalam perubahan takhta raja pada putera mahkota adalah menanti sampai si raja yang berkuasa wafat. Tetapi kesempatan ini tidak sama sebab pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilaksanakan di saat Hamengkubuwono VII masih hidup (Ada narasi jika si ayah diasingkan oleh putera mahkota yang ke-4 ke Pesanggrahan Ngambarrukma di luar keraton Yogyakarta)

Hamengkubuwono VII dengan besar hati ikuti tekad si anak (yang di arti Jawa disebutkan mikul dhuwur mendhem jero) yang dengan cara politis sudah kuasai situasi di pemerintahan kerajaan. Sesudah turun takhta, Hamengkubuwono VII sempat menjelaskan "Belum pernah ada raja yang wafat di keraton sesudah saya" yang berarti masih ditanyakan. 

Sampai sekarang ini ada dua raja sesudah Hamengkubuwono VII yang wafat di luar keraton, yaituHamengkubuwono VIII (wafat sesudah menjemput putra mahkota, GRM Dorojatun, dari Batavia) serta Hamengkubuwono IX (wafat di Amerika Serikat). Buat warga Jawa ialah satu kebanggaan bila seorang wafat di tempat tinggalnya sendiri. Hamengkubuwono VII wafat di Pesanggrahan Ngambarrukma pada tanggal 30 Desember 1931 serta disemayamkan di Makam Imogiri.

Versus lain menjelaskan jika Hamengkubuwono VII minta pensiun pada Belanda untuk madeg pandita (jadi pertapa) di Kedaton Ngambarrukma. Sampai sekarang ini sisa kedaton itu masih ada serta di samping timurnya berdiri Hotel Ambarrukma.

No comments:

Post a Comment