Sejarah Cina Benteng Di Indonesia
Kemasyhuran bahari Nusantara jadi daya tarik bangsa China untuk tiba. Bukan hanya pulau-pulau dengan hasil bumi yang kaya, Tangerang, untuk sisi teluk Batavia waktu itu pun tidak lepas dari kedatangan etnis Tionghoa.
Lewat jalan laut, seputar era ke-15, kapal dagang China menepi di Teluknaga, Tangerang serta terus menebar sampai ke tepian daerah Serpong ikuti jalan Sungai Cisadane.
Seiring waktu berjalan, proses asimilasi berlangsung serta melahirkan komune peranakan China ciri khas Tangerang, yang bertambah diketahui dengan panggilan China Benteng (Ciben).
Sekelumit narasi itu, memulai pembicaraan merdeka.com waktu berjumpa dengan tokoh sepuh Pecinan Benteng, Tjin Eng (74) di teritori Pasar Lama, Kota Tangerang.
Ia selanjutnya menceritakan, panggilan Benteng, yang diberikan pada masyarakat peranakan di Tangerang, mempunyai nilai historis panjang.
Singkat kata saat itu, penamaan Benteng (fort), yang dibuat kira-kira era ke-16 oleh Pemerintahan Belanda yang diketahui warga pribumi dengan panggilan Benteng Makasar. Adalah pemisah daerah kesultanan Banten dengan VOC yang beririsan dengan saluran Sungai Cisadane.
"Pada bagian barat sungai itu daerah kekuasaan Banten serta samping Timurnya itu kekuasaan Belanda," kata Tjin Eng.
Di tahun itu, selanjutnya VOC meluluskan masyarakat seputar Benteng untuk buka tempat pertanian di seputar perairan Sungai Cisadane. "Peluang itu digunakan masyarakat peranakan yang pintar bertani, untuk menempati tempat di seputar Benteng. Demikianlah selanjutnya panggilan Cina Benteng menempel pada peranakan Tionghoa di Tangerang, sampai ini hari," kata Pria yang dekat dipanggil Engkong.
Berdasar catatan pada kitab Sunda Tina Layang Parahyang, Sebetulnya jauh sebelum kehadiran Belanda ke Indonesia, sesepuh pengurus Klenteng Boen Tek Bio Pasar Lama Tangerang ini menjelaskan, muasal kedatangan etnis Tionghoa menempati tanah Pasundan-Banten-Tangerang.
Saat itu, persisnya tahun 1407 bertumpu perahu Junk, di bawah pimpinan Chen Ci Lung ke muara Sungai Cisadane, di teritori Teluk Naga, Kabupaten Tangerang. Perahu itu diisi seputar 100 orang Tiongkok, termasuk juga salah satunya beberapa wanita China asli yang cantik.
Sesaat teritori Teluknaga, di bawah kerajaan Pajajaran yang diperintah Sanghyang Anggalarang minta 9 gadis Tiongkok cantik antara kelompok Chen Ci Lung untuk dinikahi beberapa prajurit kerajaan.
"Sanghyang tawarkan untuk menyunting wanita-wanita asal Tiongkok ini dengan kompensasi sebidang tanah dari daerah kekuasaannya. Begitupun dengan pria Tiongkok yang menikah dengan masyarakat asli ditempat. Dari hasil pernikahan itu disebutkan dengan peranakan Tionghoa serta cikal akan Cina Benteng," lanjut Engkong.
Seiring berjalannya waktu, Benteng kuat yang sempat jadi saksi bisu kekuasaan Pemerintahan Belanda serta kemasyhuran ekonomi perairan masyarakat Cina Benteng Tangerang, sekarang ini telah tidak lagi ada, Benteng itu menjadi satu pusat belanja berkualitas di Tangerang, dengan panggilan Pasar Lama.
"Jadi tidak ada bukti valid lagi masalah Benteng Makasar, telah terkikis sebab abrasi," papar ia.
Sekarang ini, tinggal tiga bangunan Klenteng, Boen Tek Bio (pasar lama), Boen Hay Bio (pasar baru), serta Boen San Bio (Serpong), yang masih tetap sisa untuk bukti keberadaan kehadiran peranakan Tionghoa di Tangerang.
"Cina Benteng itu di sini, (peranakan China Pasar Lama), sebab panggilan Benteng itu dahulu ada Benteng di sini, selanjutnya ada yang menempati Sewan, Cisoka, Serpong serta lainnya memang sisi Peranakan Cina yang aslinya dari Teluknaga ," tutur Engkong.
Seiring berjalannya waktu serta perubahan perkembangan jaman, beberapa pekerjaan yang awalnya jadi ciri Pecinan Benteng Tangerang alami perkembangan. Dapat dinyatakan, tidak lagi ada masyarakat Pecinan Benteng yang gantungkan hidup untuk petani serta nelayan.
"Peranakan yang tinggal di Teluk Naga, masih ada yang melaut atau nelayan, karena dekat laut. Tetapi yang di sini (pasar lama) Sungai Cisadane sampai sewan cina benteng sangat dominan dengan judi Perkembangan Casino Online tidak di terima oleh cina benteng yang lebih suka main judi kartu capsa , lama tidak digunakan masyarakat untuk penuhi keperluan hidup. Ditambah lagi generasi saat ini, mereka bertambah pilih kerja di kantoran," tutur Tjin Eng.
Dengan cara sosial serta agama, masyarakat Cina Benteng serta warga Pribumi asli Tangerang, hidup berdampingan. Keserasian sama-sama antar suku, etnis, agama, budaya, serta seni jadi satu.
"Nampak dari kerukunan agama yang terikat, kecocokan dalam bertetangga serta kerja sama sama-sama memberikan keuntungan terbentuk semenjak beberapa ratus tahun kemarin," sebut ia.
Beberapa Cina Benteng, kata Engkong sudah beralih kepercayaan dengan merengkuh agama lain seperti Islam, Hindu, Buddha serta Kristen. Walau tidak tinggalkan adat nenek moyang dengan teguh jaga adat serta kebudayaan leluhur.
"Agama telah bertukar, tetap ia tidak lupakan adat lama. Seperti pada perayaan Imlek serta yang lain. Itu tentu mereka kerjakan. Jadi jika perayaan kebudayaan seperti Imlek itu cuma oleh agama Konghucu. Jika penganut agam Islam, Kristen serta yang lain itu cuma kebudayaan leluhur," katanya.
Tjin Eng menjelaskan, akulturasi budaya Nusantara kental pada warga Ciben.
"Cina Benteng ini kental pada akulturasi budaya, bahasa Ibunya itu ada Sunda, itu benar-benar kental. Ada Bahasa Tionghoa, Jawa, Betawi serta Makassar. Contohnya lontong Cap Go Meh, tidak ada orang Jawa itu buat lontong, itu (lontong) dibikin oleh Nyai, jadi Nyai itu yang memperkenalkan Lontong Cap Go Meh, contoh ada acara pesta, itu ada Ancak, di pendaringan ada hidangan ayam bekakak, kopi hitam, kopi manis, kue-kue, lisong, itukan budaya lokal yang asli lahir dari percampuran Tionghoa serta Nusantara," katanya.


No comments:
Post a Comment