Riwayat Masuknya Islam di Sangihe Talaud
Di Kota Tahuna, ada Sjahrul Ponto. Dia budayawan Sangihe dari turunan raja-raja Kerajaan Kendar (Kendahe) serta Kerajaan Tabukan—bahkan kerajaan Siau. Simpan beberapa peninggalan kerajaan serta bermacam karya sastra lama, ialah sisi dari hoby lelaki yang tinggal di salah satunya rumah Raja itu.
Budayawan namanya Mahare disana, saat penulis bertandang ke tempat tinggal Sjahrul Pontoh, baru saja. Sekalian menyerup kopi di teras rumah tua dengan arsitektur kombinasi style Eropa serta Sangihe ini, penulis disugukan permainan tetabuhan Tagonggong menemani syair-yair "Sasambo" oleh kedua-duanya.
Walau kadang-kadang diselingi celoteh, ada situasi magic saat itu, ditambah lagi malam mulai larut, serta angin laut dari teluk Tahuna sayup-sayup menimpa pepohon di bebukit jalan dari Tahuna ke arah negeri yang dahulunya jadi pusat kerajaan Tabukan. Bagaimana tidak, Sasambo ialah seni ritual, mengalir dalam kombinasi ritmik bunyi ketukan Tagonggong serta puisi lama bercirikan mantra, talibun serta gurindam. Pada tikungan laguan spesifik, nuansa Islami terasa sangat membalun.
Pak Mahare, panggilan sehari-harinya budayawan senior asal Kendahe itu, pasti tidak disangsikan lagi keahliannya dalam mainkan alat music adat, dan kedalaman perebutan pengetahuan sastra serta budaya negerinya. Dia termasuk juga tokoh budaya yang tetap tampil pimpin beberapa penerapan acara pesta budaya, salah satunya "Tulude" pada tiap 31 Januari saban tahun.
Sesaat walau termasuk berumur muda, Sjahrul, bisa dikata lancar melafalkan syair-syair tua dari masa beberapa ratus tahun yang lalu. Serta dia diketahui memahami pengetahuan semedi –semacam yoga—dari khazanah kebudayaan kerajaan waktu dulu. "Kerajaan Kendar serta Tabukan sudah mewariskan adat serta nilai-nilai adiluhung dalam khazanah kebudayaan Indonesia," kata Sjahrul.
Kecuali pada puisi lama, dalam soal penyembuhan tradisionil, pengerjaan kapal, perahu serta rumah, katanya, warga adat disana masih mengenali syariat (ketentuan atau ketentuan) yang semestinya diiringi serta dipatuhi hingga apakah yang diinginkan dapat tercukupi.
"Di sini semua pohon serta tumbuhan, dan alam pada umunya dipercaya mempunyai roh penjaga, karena itu semua tindakankan yang terkait dengan semuanya harus melalui syariatnya," katanya.
Puisi-puisi mantra yang berkunci larik "Bismillah dapat", umum diketemukan di Sangihe Talaud. Serta adat lebaran ketupat yang diketahui adalah warisan budaya Jawa semenjak waktu pemerintahan Raden Fatah dari Kerajaan Islam Demak pada era ke-15, seperti Hari Raya Islam yang lain, dirayakan dengan kagum.
"Di sini lebaran ketupat dirayakan di hari ke 8 (delapan) di bulan syawal, dengan pemaknaan diantaranya, hari perayaan setelah melakukan puasa Syawal 6 (enam) hari, hari untuk menyantuni tiap orang dengan menyuguhkan ketupat, serta hari meleburkan diri untuk sama-sama maafkan supaya bersih dari dosa serta kekeliruan pada orang untuk kembali lagi pada fitrah," papar Ridwan Naki SAg, satu tokoh NU di kepulauan Sangihe, pada Rendy Saselah dari Barta1.com.
Ada patahan instrumen riwayat yang mengategorikan kerajaan-kerajaan yang sempat berada di Kepulauan Sangihe serta Talaud untuk sisi dari kerajaan bercorak Kristen, hingga jalur riwayat Islam di teritori itu sebatas mendapatkan tolehan yang murung.
Sesaat beberapa ribu peninggalan karya sastra lama, adat serta budayanya pancarkan jejak Islam yang elok di negeri beberapa pesyair serta pelaut itu, seperti diisyaratkan puisi lama memiliki nuansa Islami peninggalan Kerajaan Kendahe, Sangihe berikut ini:
- Dumaļeng su apeng nanging
- Manendeng banuang
- Banuang datungĮangi
- Soļe tama soļe
- Buntuang takumakibang
- Iamang ianang magenda putung
- Su hiwang Fatimah
- Duatang Langi
(Berjalan di pantai sinar
Bawa berkilau budaya
Kalam Tuhan bunda Semesta
Geser tidak berubah
Lapar tidak menyerah
Ayah serta anak menuai api
di pangkuan Fatimah
serta Tuhan yang sejati
Buruntung, walau baru sedikit bacaan yang dapat didapati menelisik riwayat serta perkembangan Islam di Kepulauan tepian di antara Indonesia-Filipina ini, "Bulan Sabit di Nusa Utara, Pertemuan Islam serta Agama Suku di Kepulauan Sangihe serta Talaud. (2010)" karangan Dr. Ivan R.B. Kaunang, S.S. M. Hum, cukup memberikan cahaya ditengah-tengah minimal literatur yang membicarakan Islam di negeri itu.
Kerajaan Kendar atau Kendahe (1600) serta Kerajaan Tabukan (1530), papar Kaunang, adalah 2 kerajaan Islam di pulau Sangihe yang sempat eksis semasa ratuhan tahun, serta mewariskan Islam sampai sekarang di negeri 124 pulau ini.
Jejak kebudayaan Islam di Sangihe Talaud memang nampak jernih sampai sekarang, kecuali pada puisi-puisi mantra, artefak kerajaan, pada beberapa adat profetis Islami yang masih tetap terpelihara.
Kesibukan Perdagangan serta Penebaran Islam
Jauh sebelum bangsa Barat tiba ke Nusantara, masyarakat di Kepulauan Sangihe serta Talaud sudah lama membuat jalinan dagang dengan beberapa pedagang asing dari Cina, Arab, India serta pedagang pribumi seperti Makassar, Jawa, serta yang lain yang bertandang ke wilayah itu. Di masa itu Islam mulai sentuh Sangihe Talaud.
Penulis "Onze Zendingsvelden De Zending op de Sangi – en Talaud- eilanden" D. Brilman ungkap, sebelum Ferdinand de Magelhaes sampai ke pulau-pulau ini pada 1521, orang Cina serta Arab telah lama berdagang dengan masyarakat Sangihe Talaud serta kawin mawin dengan masyarakat pribumi ditempat. Masyarakat pulau-pulau ini telah terkait dengan beberapa penangkap ikan paus dari Amerika.
Mencuplik laporan pelaut Pieter Alstein serta David Haak di tahun 1689, Brilman mengatakan di masa itu masyarakat Sangihe Talaud sudah lakukan pelayaran dengan perahu-perahu punya mereka sampai ke Batavia, Malaka, Manila, serta Siam.
Sesaat dalam catatan Kaunang, pasca-runtuhnya kerajaan Islam Demak pada 1546 beberapa pedagang serta ulama dan pejuang Islam mulai mengubah perhatian mereka ke melayau, Aceh, Makassar, Kalimantan, Maluku sampai Sulu-Filipina melalui kesibukan perdagangan.
Perubahan Islam di Maluku khususnya di Ternate serta Tidore awal era 15, catat ia, mengakibatkan mata rantai pulau-pulau yang bersisihan dengan Ternate khususnya pantai-pantai di Sulawesi mulai mengenali Islam.
Sangihe Talaud untuk wilayah di pinggiran perlintasan di antara Jalan Utara Filipina serta Jalan Selatan Ternate untuk pusat Islam di Indonesia Timur jadi muasal persentuhan dengan Islam pada periode awal papar penulis Drs Alex J. Ulaen DEA dalam "Nusa Utara Pinggiran Perlintasan" (1997).
Pinggiran perlinatasan itu, catat Ulaen, terdapat pada jalan pelayaran dari daratan Cina Selatan ke Kepulauan Maluku lewat Laut Cina Selatan, Laut Sulu, Laut Sulawesi, serta Laut Maluku. Sangihe Talaud jadi tempat persinggahan beberapa pelaut serta pedagang ini.
Tetang Jalan Utara Kesultanan Sulu-Mindanau, Filipina Selatan yang berperanan besar untuk pintu masuk agama Islam ke kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, tersingkap dalam Seminar Riwayat Nasional III tahun 1981 di Jakarta.
Seminar itu mengaitkan, Kepulauan Sangihe Talaud pada era ke 16 telah mengenali Islam. Masuk melalui jalan perdagangan serta pelayaran pada saat itu yang ikut bawa kebudayaan Islam melalui jalan Filipina dari utara serta jalan selatan lewat Ternate.
Perlu untuk diketahui, jarak di antara Pulau Miangas di Talaud dengan pulau-pulau sisi Selatan Filipina 75 mil laut. Bertambah dekat lagi jika dari Pulau Marore di Sangihe cuma 35 mil laut. Jarak di antara pulau Siau serta Ternate 40 mil laut. Sesaat dari Miangas ke Manado untuk ibukota Propinsi Sulut 145 mil laut.
Beberapa sumber riwayat mengatakan, penebaran agama Islam di Kepulauan Sangihe Talaud erat hubungan dengan pekerjaan perdagangan laut khususnya semenjak keruntuhan Malaka ke tangan Portugis (1511). Pekerjaan perdagangan sangat mungkin ada contact dengan pelaut serta pedagang – pedagang asing, termasuk juga pelaut serta pedagang yang mengenalkan agama Islam.
Tetapi seperti sentil Kaunang, sumber riwayat tentang ini hanya berbentuk historiografi lokal atau peninggalan purbakala yang masih tetap terbatas banyaknya. Salah satunya salah satunya ialah peninggalan situs sisa istana kerajaan Islam paling besar, yaitu kerajaan Tabukan di Pulau Sangir Besar.
Menurut Tumenggung Sis, kutip Kaunang, agama Islam masuk di Nusa Utara (Sangihe Talaud) di akhir era ke- 15 di Kerajaan Tabukan serta capai pucuk kemantapan pada tengah era ke- 16, yaitu tahun 1550.
Lewat satu periode waktu yang panjang, tutur ia, Kerajaan Kendahe serta Tabukan terutamanya, serta biasanya Kepulauan Sangihe serta Talaud, terima impak Islam dari dua jurusan. Pertama, agama Islam masuk dari arah utara, yaitu dari Kedatuan Sulu-Mindanao, sesudah lewat satu perjalanan yang panjang dari Malaka, Brunei, Sulu, Mindanao, Sangihe serta Talaud yang diprediksikan di akhir era ke- 15.
Sumber–sumber lokal menulis jalinan pertama dengan agama Islam yang tiba dari kesultanan Sulu-Mindanao diawali akhir era 15 yang bersumber di Kedatuan Lamauge pada saat Datu-Raja Taboi memerintah, dalam daerah kekuasaan Kedatuan Tabukan. Kecuali Kedatuan Lumauge, Kedatuan Kendahe mendapatkan impak Islam yang di bawah oleh Syarif Mansur Ali, seorang bangsawan muslim bertitel kulano dari Kedatuan Mindanao.
Pada saat kehadiran Syarif Mansur Ali, jelas Kaunang, Kedatuan Kendahe di bawah kekuasaan seorang kulano-datu namanya Wagama. Kulano-datu Wagama selanjutnya diganti oleh Syarif Mansur Ali serta agama Islam mulai menebar sampai Kedatuan Talawide.
Pada saat Mansur Ali, agama Islam juga kecuali diyakini oleh raja, bangsawan serta familinya, sudah mendapatkan simpati dari rakyat dalam kehidupan bermasyarakatnya, meskipun diakui masih ada yang beragama tradisionil yang yakin pada kuasa aditinggi I Gengghonalangi Ruata (Ia Pencipta yang berkuasa di atas langit serta bumi).
Di Kerajaan Tabukan, agama Islam makin kuat pada paruh pertama era ke- 17, yaitu pada saat pemerintahan Raja Gamanbanua (1610). Pada saat ini dengan kepeloporan Raja Gamanbanua di Tabukan serta Syarif Mansur Ali di Kendahe serta Talawide, tata pemerintahan mulai ditata menurut akidah keislaman, termasuk juga didalamnya beberapa hak serta keharusan seorang muslim.
Kecuali Syarif Mansur Ali, catat ia, juga dikenal tokoh pribumi sezaman yang ikut mengislamkan Nusa Utara. Nama tokoh itu ialah Umar Massade atau Mas'ud yang selanjutnya bertambah dekat diketahui dengan panggilan Imam Massade. Diterangkan, Pada usia enam belas tahun, Massade dari Kerajaan Lamauge pergi belajar serta berguru agama Islam di Tugis-Mindanao atau Tubis menurut panggilan orang Sangir, selanjutnya ke Ternate serta meluangkan diri naik haji ke Mekkah.
Ini enyebabnya, katanya, bisa jadi sebelum agama Islam dikenalkan oleh beberapa mubalig dari Suku-Mindanao, agama Islam sudah diyakini oleh sejumlah kecil warga dengan cara individu dalam rencana jalinan perdagangan serta diteruskan dengan jalinan – jalinan perkawinan dengan wanita – wanita pribumi.
Ini nampak dari keaktifan yang dilaksanakan Imam Massade bertepatan dengan kehadiran beberapa kulano muslim dari Sulu-Mindanao, yaitu perdalam agama Islam di Tugis-Mindanao, selanjutnya ke Ternate.
Bertmbah jauh, kecuali Imam Massade atau Mas'ud, juga dikenal 3 orang imam yang sempat berguru serta memahami fundamen – fundamen keislaman di Kedatuan Sulu serta Mindanao. Ke-3 orang imam itu ialah Imam Hadum atau Hadung, Imam Mahdum atau Makhung, serta Imam Biangkati.
Dalam riwayat lokal Filipina Permainan mesin slot , catat Kaunang, era ke- 13 sampai era ke- 16 banyak pedagang – pedagang Islam yang tiba ke Kalimantan terus meneruskan perjalanan ke Sulu-Filipina diperjalanan mereka ke utara ke arah Cina. Setelah itu diterangkan, kecuali beberapa pedagang Islam itu, pada pedagang Islam yang datang dari Indonesia, yang pulau–pulaunya bersisihan, tiba di Kedatuan Sulu dalam rencana penebaran agama Islam. Disebutlah salah satunya nama yang tiba, yaitu Mahdumin, yang ajarannya banyak dikuasai oleh sufisme.
Mahdumin, kecuali mengajari faktor – faktor fundamen Islam, membangun masjid – masjid simpel. Bisa dinyatakan nama ini ialah Mahdum atau Makhung yang diketahui untuk imam yang menebarkan agama Islam di Sangihe Talaud.
Namun, papar ia, dalam tempo yang tidak demikian lama, agama Islam harus bertabrakan dengan bangsa – bangsa Barat yang bawa panji – panji Salib, yang memiliki kebutuhan ekonomi, politik, serta meyebarkan agama Katolik, Protestan di daerah ini.
Bangsa Barat pertama yang diketahui di wilayah ini ialah bangsa Portugis serta Spanyol (era ke- 16). Portugis masuk lewat kesultanan Ternate- Maluku, sedang Spanyol masuk lewat Filipina. Setelah itu VOC- Belanda (era ke- 17) lewat Ternate.
Perubahan selanjutnya Spanyol serta Portugis harus angkat kaki sebab kekuasaan VOC- Belanda atas Ternate pada saat gubernur Jendral Padbrugge yang mengakui Sangihe Talaud masuk ke sisi kerajaan Ternate.




No comments:
Post a Comment